Paket Deregulasi (Paket Kebijakan 28 Oktober) dan (Paket Kebijakan 20 Desember)
PAKET DEREGULASI PERBANKAN
Deregulasi perbankan sudah digulirkan sejak 14 tahun
lalu. Kesan bongkar pasang itu tak terhindarkan. Bahkan, dari dampak
yang kini terasa yaitu goyahnya sejumlah bank swasta, sangat terasa
bahwa aturan-aturan perbankan Indonesia memang tak didasari pengalaman
negara-negara lain yang sudah lebih lama mengatur soal-soal bank.Paket Juni 1983
Inilah langkah penting deregulasi sektor perbankan di Indonesia. Di dalam Paket Juni (Pakjun) 1983 itu diberikan kemudahan bagi bank untuk menentukan sendiri suku bunga deposito dan dihapuskannya campur tangan Bank Indonesia terhadap bank dalam penyaluran kredit. Deregulasi pertama itu juga memperkenalkan adanya Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan juga Surat Berharga Pasar Uang (SBPU). Pakjun tersebut bertujuan merangsang pertumbuhan perbankan Indonesia. Langkah itu berhasil "menarik" dana masyarakat ke bank secara drastis.
Paket 27 Oktober 1988 (Pakto 88)
Paket itu adalah aturan paling liberal sepanjang sejarah perbankan Indonesia. Hanya dengan modal Rp 10 milyar, siapa saja bisa mendirikan bank baru. Paket Oktober 1988 (Pakto 88) dianggap telah banyak mengubah kehidupan perbankan nasional. Keberhasilan itu dinyatakan dalam angka-angka absolut seperti pada jumlah bank, kantor cabang, jumlah dana yang dihimpun, jumlah kredit yang disalurkan, tenaga kerja yang mampu dipekerjakan, serta volume usaha dalam bentuk aset dan hasil-hasilnya.
Secara kualitas keberhasilan tampak pada peningkatan sumber daya manusia yang lebih profesional, mutu pelayanan perbankan yang lebih baik, penggunaan perangkat keras dan lunak yang super canggih, juga komunikasi antar pelaku perbankan yang tidak terlalu birokratis.
Paket Pebruari 1991
Untuk mengkoreksi akibat buruk Pakto 88, pemerintah meluncurkan Paktri yang keluar tanggal 28 Pebruari 1991. Yang utama diatur adalah syarat bahwa modal sendiri bank haruslah sebesar 8 % dari seluruh aset. Ketentuan yang lazim disebut CAR (capital adequacy ratio atau perbandingan antara modal sendiri dengan aset) sebesar 8 persen mengharuskan bank-bank memperkuat modalnya sendiri. Ketika itu disebut-sebut bahwa banyak bank yang CAR-nya hanya sekitar 5 persen saja.
Terbitnya paket itu ditandai dengan berbagai kejadian pahit di dunia perbankan Indonesia. Misalnya tragedi Bank Duta yang kolaps gara-gara permainan valuta asing, juga ambruknya Bank Umum Majapahit.
UU Perbankan Nomor 7 tahun 1992
Undang Undang itu lahir pada tanggal 25 Maret 1992 guna menyempurnakan UU nomor 14 tahun 1967. Inti aturan itu adalah meniadakan pemisahan perbankan berdasarkan kepemilikan – misalnya pemilikan bank oleh pemerintah, swasta dan daerah. Dalam hal pendirian bank baru, UU tersebut mengatur berbagai syarat seperti susunan organisasi, permodalan, kepemilikan, keahlian di bidang perbankan, kelayakan kerja dan lain-lainnya. Syarat itu ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan pertimbangan Bank Indonesia.
Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 1992
Melalui Peraturan Pemerintah itu, pemerintah menaikkan modal minimum pendirian bank, dari Rp 10 milyar menjadi Rp 50 Milyar. Langkah itu jelas dimaksudkan untuk mengendalikan pertumbuhan bank yang nyaris tak terkendali. Pada tahun 1992 tercatat ada bank 17 ribu bank, 8400 di antaranya adalah BPR (bank perkreditan rakyat). Ada sekitar 100 nama baru pemilik bank. Kelihatannya, banyak dana-dana luar negeri yang masuk lewat pasar modal, yang dipakai untuk mendirikan bank di Indonesia.
Akibat sampingannya juga ada, yaitu menjamurnya bank-bank gelap. Agaknya gairah memanfaatkan pertumbuhan bank itu membuka "mata nakal" para spekulan yang tahu benar keinginan nasabah untuk mendapat bunga tabungan atau deposito setinggi-tingginya.
Pertumbuhan bank baru masih berlanjut hingga tahun 1994. Dan itulah yang membuat ekspansi kredit makin gencar. Pada tahun 1995, misalnya, di sektor properti saja sudah dikucurkan kredit sekitar Rp 41 trilyun.
Sementara itu, bank asing juga diizinkan membuka cabang di enam kota besar. Bahkan bentuk patungan bank asing dan swasta nasional juga diizinkan. Dengan demikian, monopoli dana BUMN oleh bank-bank milik negara terhapuskan. Beberapa bank berubah menjadi bank devisa karena syaratnya kelewat lunak. Meledaknya jumlah bank itu dikuti dengan kompetisi sengit dalam perekrutan tenaga kerja. Juga dalam hal mobilisasi dana deposito dan tabungan. Di sisi lain, ada perlombaan sengit untuk mengucurkan kredit dan pinjaman. Yang terjadi adalah kehati-hatian dan keamanan dalam menyalurkan kredit menjadi terabaikan. Akibatnya pasti: kredit macet menggunung.
Ada empat "penyakit" perbankan yang dibawa Pakto 88. Yaitu, bank-bank banyak dikuasai para konglomerat. Di tangan konglomerat, suburlah praktek insider lending alias pemberian kredit untuk kelompok usaha mereka sendiri. Padahal praktek tersebut terlarang bagi dunia perbankan. Salah satu contoh betapa maraknya praktek insider lending itu adalah ambruknya Bank Summa yang dilikuidasi BI pada tanggal 14 Desember 1992.
"Penyakit" lain adalah tingginya suku bunga. Bahkan ada bank swasta yang berani memasang tarif 30 persen setahun. Suku bunga tidak lagi ditentukan kekuatan pasar, akibat mekanisme kredit makin tidak sempurna dengan adanya alokasi kredit untuk kalangan sendiri. Kredit macet makin tak terkendali. "Penyakit" lain lagi, pemilik bank memperkuat status-quo kesenjangan penguasaan sumber ekonomi dalam masyarakat. "Penyakit" lainnya, investasi banyak dikucurkan ke sektor mewah, misalnya apartemen, perkantoran mewah, dan lapangan golf. Sesuatu yang dianggap sebagai kemubaziran investasi.
Paket Mei 1993
Paktri dinilai kelewat "menekan" dunia perbankan. Untuk mengimbanginya, dikeluarkanlah Pakmei yang intinya melonggarkan aturan soal CAR (capital adequacy ratio) sebesar delapan persen. Antara lain, bank boleh memasukkan seluruh laba tahun sebelumnya dalam komponen modal sendiri. Aturan sebelumnya, hanya 50 persen saja dari laba tahun lalu yang boleh dimasukkan dalam komponen modal sendiri.
Soal penyaluran kredit juga diatur. Antara lain, pemberian kredit oleh bank bagi grup usahanya diturunkan dari 50 persen menjadi hanya 20 persen dari total kredit yang disalurkan. Ketentuan lain, cadangan minimum turun dari 1 persen menjadi 0,5 persen dari aktiva lancar. Pelonggaran itu jelas menaikkan kapasitas pemberian kredit.
Penyaluran kredit kecil juga diatur. Pakmei memberikan kebebasan bagi bank untuk memberikan kredit kecil maksimal Rp 25 juta tanpa melihat penggunaannya. Menurut Trenggono, Ketua Perbanas ketika itu, hal tersebut akan mendorong kredit konsumsi yang berlebih.
Paket Juli 1997
Sepekan sebelum pertemuan Consultative Group on Indonesia (CGI) di Tokyo, pemerintah mengeluarkan Paket Tujuh Juli (Pakjul). Di bidang moneter, paket itu menentukan pembatasan pemberian kredit kredit oleh bank umum kepada perusahaan pengembang properti. Hal tersebut dilakukan karena kredit macet bidang properti sudah kelewat tinggi. Bayangkan, pertumbuhan kredit secara umum antara 23-24 persen, sedang pertumbuhan kredit properti 35 persen
Sebelum Pakjul, tepatnya 16 April, Bank Indonesia membuat penentuan tentang reserve requirement (cadangan wajib minimum bagi perbankan) dari 3 persen menjadi 5 persen. Pada bulan September keluar kebijakan penundaan terhadap mega proyek. Langkah itu diharapkan mampu mengurangi impor barang oleh pihak swasta. Seperti diketahui, di tengah lilitan kredit macet, bank-bank masih punya beban untuk menanggung proyek-proyek swasta dengan dana raksasa.
Pengumuman Pemerintah 1 November 1997
Pengumuman tersebut merupakan puncak tragedi di sektor perbankan. Likuidasi serempak terhadap 16 bank telah menjawab rumor yang sejak lama beredar di Jakarta. Sejumlah bank lain akan melakukan merger. Pertanyaan selanjutnya, apakah benar pernyataan BI bahwa tak akan ada lagi bank yang dilikuidasi.
Paket 20 Desember 1988 (Pakdes 88).
berisi tentang memberikan dorongan yang lebih jauh pada pasar modal dengan membuka peluang bagi swasta untuk menyelenggarakan bursa.Hal ini memudahkan investor yang berada di luar Jakarta.
Source : http://ag-mafia-ilmu.blogspot.com/2014/05/sumber-dana-eksternal-organisasi.html
http://tempo.co.id/ang/min/02/36/utama3.htm